Beberapa waktu terakhir terdapat polemik mengenai waktu shubuh di mana waktu shubuh di Indonesia mendapat sorotan dari sebagian masyarakat. Waktu shubuh di Indonesia, dan juga negara-negara tetangga, mengacu kepada waktu saat matahari berada pada ketinggian -20 derajat di bawah ufuk. Sudut ini dianggap sebagian orang terlalu rendah dan belum menghasilkan pendaran cahaya fajar yang jelas dan memanjang secara horisontal di atas ufuk. Muhammadiyah telah mengumumkan koreksi waktu shubuh di Indonesia menjadi –18 derajat setelah melakukan berbagai pengamatan dan pengukuran terbitnya cahaya fajar. Sebelumnya, negara jiran, Malaysia juga telah memundurkan waktu shubuh sekitar 8 menit dengan acuan sudut matahari waktu fajar yang sama dengan Muhammadiyah, yaitu -18 derajat.
Nahdlatul Ulama (NU): Waktu Shubuh Tidak Berubah, Tetap pada -20 Derajat
Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Agama, belum merubah sudut waktu shubuh resmi. Sementara itu, Nahdhatul Ulama (NU) baru-baru ini mengeluarkan hasil kajian yang mendukung pemakain sudut -20 derajat sebagai awal waktu shubuh di Indonesia.
Berikut adalah ikhtisar dari maklumat yang dikeluarkan oleh Lembaga Falakiyah NU pada 8 Ramadhan 1442 H atau 20 April 2021. Isi lengkap dari Hasil Kajian Awal Waktu Shubuh di Indonesia oleh Lembaga Falakiyah NU bisa diunduh di sini:
1. Jumhur ulama sepakat awal waktu Subuh adalah saat terbitnya fajar shadiq di waktu ghalas / taghlis dan terjadi setelah hadirnya fajar kadzib. Sedangkan waktu isfar adalah waktu yang afdhol untuk menunaikan shalat Subuh.
2. Terdapat tiga pendapat mengenai identitas fajar shadiq. Pendapat pertama fajar shadiq cukup terang sehingga bisa menerangi puncak pegunungan / perbukitan, yang bersandar pada pendapat Ibnu Abbas RA dan lain-lain. Pendapat kedua dari Imam Ghazali dan lain-lain, fajar shadiq adalah cahaya putih kemerah-merahan terang yang telah menyebar di ufuk dan mudah dilihat mata. Dan pendapat ketiga, fajar shadiq adalah cahaya yang sudah muncul di ufuk meskipun samar dan bisa dibedakan dengan fajar kadzib. Pendapat ketiga bersandar pada ar-Razi, az-Zamakhsyari dan lain-lain.
3. Bersandar pada pendapat ar-Razi, az-Zamakhsyari dan lain-lain tersebut maka fajar shadiq menurut ilmu falak adalah berkas cahaya Matahari yang mengalami pembiasan, hamburan dan serapan oleh sifat optis atmosfer sehingga tepat telah tiba di ufuk meskipun Matahari belum terlihat secara langsung.
4. Para peneliti Nahdlatul Ulama telah meneliti fenomena fajar shadiq sejak 2010 hingga sekarang. Telah terhimpun 37 data pengamatan dengan nilai tinggi Matahari lebih kecil dari negatif 18º. Di antaranya terdapat 17 data dengan fajar kadzib terlihat dan memiliki nilai tinggi Matahari rata-rata negatif 19º 54’ ± 0º 24’. Adapun 20 data sisanya memiliki nilai tinggi Matahari rata-rata negatif 19º 29’ ± 1º 04’. Secara statistik kedua kelompok data itu sama sehingga dapat dianalisis secara bersama-sama.
5. Dalam 37 data tersebut terdapat 8 data yang dengan nilai tinggi Matahari lebih kecil dari negatif 20Ă‚Âş. Berdasarkan prinsip nilai terkecil (digunakan juga dalam pembentukan kriteria visibilitas hilal), maka cukup rasional (setelah dibulatkan) bahwa titik belok kurva terendah berada di negatif 21Ă‚Âş. Tetapi dalam kajian fiqih dikenal langkah pengamanan sebagai bagian dari kehati-hatian. Langkah pengamanan yang rasional adalah menambahkan 1Ă‚Âş lebih tinggi dibanding titik belok kurva terendah. Sehingga awal fajar shadiq terjadi pada tinggi Matahari negatif 20Ă‚Âş
6. Kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tetap dapat merujuk ke kriteria yang dipedomani Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Dengan demikian Umat Islam di Indonesia dapat tetap menjalankan ibadah shalat Subuh dan puasa dengan lebih tenang dan nyaman. Warga Nahdlatul Ulama juga tetap dapat menggunakan jadwal shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan yang disusun LFNU karena berdasarkan pada kriteria awal waktu Subuh yang sama.
7. Sehubungan dengan mulai terjadinya perbedaan dalam mengumandangkan adzan Subuh di sejumlah daerah, maka warga Nahdlatul Ulama tidak perlu risau. Perbedaan ini serupa dengan perbedaan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Sehingga perbedaan tersebut tetap perlu dihormati.
Jakarta, 8 Ramadhan 1442 H / 20 April 2021
Lembaga Falakiyah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KH Drs Sirril Wafa, MA
(Ketua)