Puasa Ramadhan & Idul Fitri Ikut Siapa?

Mungkin bagi kaum muslimin di Indonesia, isu perbedaan waktu memulai puasa Ramadhan dan lebaran Hari Raya Idul Fitri sudah tidak asing lagi. Sudah beberapa tahun terakhir, kejadian ini selalu terulang. Perpecahan pun terjadi antar kelompok ormas dan bahkan berimbas kepada perbedaan pendapat antar anggota keluarga.

Sebagian dari kita mungkin cuek saja, tidak terlalu peduli dengan kejadian seperti ini. Puasa mau ikut pemerintah monggo, silakan, mau ikut ormas lain atau negara lain silakan. Yang penting tidak saling adu fisik, jotos-jotosan, begitu pikir yang lain. Kan perbedaan di antara kaum muslimin itu rahmat, kata sebagian yang lain.

Memang halnya ketika perbedaan penentuan awal bulan hijriyah itu sudah menimbulkan perbedaan di antara kaum muslimin, kita kadang hanya bertindak seperti di atas agar tidak terjadi imbas atau efek yang lebih buruk.

Tetapi sebenarnya siapakah yang berhak menentukan awal puasa atau idul fitri ini? Apakah pemerintah atau ormas atau masing-masing individu kaum muslimin diberikan kebebasan untuk memilih? Bagaimana halnya dengan pendapat para ulama mengenai isu perbedaan semacam ini?

Pendapat para ulama tentang perbedaan awal Ramadhan & Idul Fitri

Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Hilal Ramadhan atau Hilal Syawal), Apakah Wajib Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya?

Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.

Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.”

Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)

Dan juga hadits Ibnu Umar:

Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ

“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah (selesai Ramadhan). Jika hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)

Dalam riwayat Muslim:

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”

Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.

Inilah kondisi ideal yang kita harapkan. Namun persatuan seluruh negeri kaum muslimin sampai hari ini belum terjadi kembali.

Bagaimana Jika Suatu Negara Telah Melihat Hilal Sementara Negara Lain Tidak Mengikutinya?

“Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada di antara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka”. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (Komisi Fatwa Ulama Ahlulhadits Saudi Arabia) (no. 388))

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” (Lihat Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Idul Fithri dan Idul Adhha) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

Apakah Harus Mengikuti Penanggalan Islam di Arab Saudi?

“Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)

Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Namun, tidak sedikit yang menganggap hal-hal penentuan kalender islam semacam ini bukan merupakan otoritas pemerintah. Mereka beranggapan pemerintahnya sesat, berbuat zhalim dan bukan merupakan ulil amri yang wajib ditaati.

Mengikuti Keputusan Penguasa yang Lalim

Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَفَذَكَرَ الشَّرَّفَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Semoga bermanfaat.

Habib bin Hilal

Habib bin Hilal adalah pengelola dan Editor dari blog ini serta situs Alhabib - Mewarnai dengan Islam.

3 Comments

  1. berpuasa di hari raya iedul fitri hukumnya HARAM dan meninggalkan puasa Romadhon dengan sengaja juga DOSA. Nah….. lo disini penentu2 kebijaksanaan harus betul2 tegas & tanggap, jangan sampai warga/ umat bergelimang dalam Dosa & maksiat. bila terjadi penyimpangan/ kesalah fahaman yach diluruskan conform. Beda pendapat dirangkul dicari persamaan dll disitu ilmu bertambah dan itulah rahmat, kalo beda terus dimana Rahmat-nya…… bukan Rahmat tapi Bencana yg muncul.

Tinggalkan Balasan ke Adib Susila SirajBatalkan balasan