PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA TENTANG KRITERIA AWAL WAKTU SUBUH DI INDONESIA
1. Jumhur ulama sepakat awal waktu Subuh adalah saat terbitnya fajar shadiq di waktu ghalas / taghlis dan terjadi setelah hadirnya fajar kadzib. Sedangkan waktu isfar adalah waktu yang afdhol untuk menunaikan shalat Subuh.
2. Terdapat tiga pendapat mengenai identitas fajar shadiq. Pendapat pertama fajar shadiq cukup terang sehingga bisa menerangi puncak pegunungan / perbukitan, yang bersandar pada pendapat Ibnu Abbas RA dan lain-lain. Pendapat kedua dari Imam Ghazali dan lain-lain, fajar shadiq adalah cahaya putih kemerah-merahan terang yang telah menyebar di ufuk dan mudah dilihat mata. Dan pendapat ketiga, fajar shadiq adalah cahaya yang sudah muncul di ufuk meskipun samar dan bisa dibedakan dengan fajar kadzib. Pendapat ketiga bersandar pada ar-Razi, az-Zamakhsyari dan lain-lain.
3. Bersandar pada pendapat ar-Razi, az-Zamakhsyari dan lain-lain tersebut maka fajar shadiq menurut ilmu falak adalah berkas cahaya Matahari yang mengalami pembiasan, hamburan dan serapan oleh sifat optis atmosfer sehingga tepat telah tiba di ufuk meskipun Matahari belum terlihat secara langsung.
4. Para peneliti Nahdlatul Ulama telah meneliti fenomena fajar shadiq sejak 2010 hingga sekarang. Telah terhimpun 37 data pengamatan dengan nilai tinggi Matahari lebih kecil dari negatif 18º. Di antaranya terdapat 17 data dengan fajar kadzib terlihat dan memiliki nilai tinggi Matahari rata-rata negatif 19º 54’ ± 0º 24’. Adapun 20 data sisanya memiliki nilai tinggi Matahari rata-rata negatif 19º 29’ ± 1º 04’. Secara statistik kedua kelompok data itu sama sehingga dapat dianalisis secara bersama-sama.
5. Dalam 37 data tersebut terdapat 8 data yang dengan nilai tinggi Matahari lebih kecil dari negatif 20º. Berdasarkan prinsip nilai terkecil (digunakan juga dalam pembentukan kriteria visibilitas hilal), maka cukup rasional (setelah dibulatkan) bahwa titik belok kurva terendah berada di negatif 21º. Tetapi dalam kajian fiqih dikenal langkah pengamanan sebagai bagian dari kehati-hatian. Langkah pengamanan yang rasional adalah menambahkan 1º lebih tinggi dibanding titik belok kurva terendah. Sehingga awal fajar shadiq terjadi pada tinggi Matahari negatif 20º
6. Kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tetap dapat merujuk ke kriteria yang dipedomani Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Dengan demikian Umat Islam di Indonesia dapat tetap menjalankan ibadah shalat Subuh dan puasa dengan lebih tenang dan nyaman. Warga Nahdlatul Ulama juga tetap dapat menggunakan jadwal shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan yang disusun LFNU karena berdasarkan pada kriteria awal waktu Subuh yang sama.
7. Sehubungan dengan mulai terjadinya perbedaan dalam mengumandangkan adzan Subuh di sejumlah daerah, maka warga Nahdlatul Ulama tidak perlu risau. Perbedaan ini serupa dengan perbedaan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Sehingga perbedaan tersebut tetap perlu dihormati.
Jakarta, 8 Ramadhan 1442 H / 20 April 2021
Lembaga Falakiyah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KH Drs Sirril Wafa, MA
(Ketua)