Hari-hari yang dikenal manusia saat ini, dari Ahad hingga Sabtu, merupakan nama-nama dari 7 hari yang menyusun satu pekan. Satu hari, secara alamiah, adalah rentang waktu satu kali perputaran bumi pada porosnya yang menjelma dalam silih bergantinya siang dan malam. Dalam perjalanan sejarah manusia, hari-hari ini menjadi satuan waktu untuk perhitungan bulan, tahun dan untaian masa lainnya. Hari-hari ini juga kemudian dihitung dan diberi penomoran dalam setiap bulannya sehingga menjadi kalender. Di dalam islam, satu tahun terdiri dari 12 bulan, di mana setiap bulannya jumlah hari ditentukan oleh fase-fase dan peredaran bulan.
Dalam prakteknya, di jaman sekarang ini, hari-hari di seluruh dunia bisa dibilang seragam pemakaiannya. Hari Senin di satu wilayah adalah sama dengan hari Senin di wilayah yang lain dalam artian ia dihitung pada perputaran bumi yang sama. Hari tersebut berputar dan berugulir, dimulai dari wilayah Samudera Pasifik dan terus bergulir ke arah barat hingga kembali lagi di permulaannya untuk memulai hari yang baru. Karena satu hari itu ditandai dengan tanggal yang berbeda, maka perubahan hari akan tercermin juga pada perubahan tanggal. Wilayah permulaan sekaligus pergantian hari global tersebut kini dikenal sebagai Garis Tanggal Internasional (International Date Line – IDL).
Pada kenyataannya, tidak ada kesepakatan internasional terkait IDL ini. Memang, ada kesepakatan mengenai Meridian Utama (garis bujur 0) di Greenwich sebagai acuan waktu global. Garis meridian utama ini secara teoritis menyiratkan adanya garis pergantian tanggal di wilayah Samudera Pasifik pada bujur 180 derajat. Namun, dalam sejarahnya, batas pergantian tanggal di wilayah tersebut berubah-ubah terkait perkembangan geo-politis negara-negara di sekitar wilayah Pasifik.
Lalu, mengapa bisa muncul batas pergantian hari di wilayah Samudera Pasifik?
Paradoks Pelanglang Buana
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada perlunya disampaikan munculnya kesadaran umat manusia akan adanya problema perhitungan hari pada bumi yang bulat. Hal ini dikenal sebagai Paradoks Pelanglang Buana – paradoks yang terjadi terkait perhitungan hari oleh orang-orang yang mengelilingi dunia.
Paradoks ini diungkapkan pertama kali oleh Abu-l-Fida (1273-1331) seorang pangeran muslim dan ahli geografi dari Suriah (cucu dari Al-Ayyubi, keponakan dari Shalahudiin al-Ayyubi) dalam bab pembuka dari buku karyanya berjudul Taqwim al-Buldaan (Gambaran Negeri-negeri). Ia menjelaskan bagaimana seorang pengelana, tergantung ke arah mana perjalanannya, akan kehilangan atau ketambahan satu hari di akhir perjalanan keliling dunianya:
“Mari kita anggap bahwa perjalanan mengelilingi dunia itu bisa dilakukan. Selanjutnya, kita ibaratkan ada tiga orang bertemu di satu tempat, satu orang berangkat ke arah barat, satu lagi ke arah timur dan yang ke tiga tetap berada di tempatnya menunggu kedatangan 2 orang lainnya tadi yang menyelesaikan perjalanan mengelilingi dunia. Yang berangkat ke arah barat akan tiba dari arah timur sementara yang berangkat ke arah timur akan tiba dari arah barat. Namun, yang berangkat ke arah barat akan kehilangan satu hari sementara yang ke arah timur akan memperoleh tambahan satu hari.
Pada kenyataannya, orang yang berjalan ke arah barat (anggaplah perlu tujuh hari untuk mengelilingi bumi) bergerak searah dengan peredaran matahari. Jadi, setiap hari, matahari terbenam 1/7 hari lebih lambat baginya. Alhasil, pada akhir hari ke-7, keterlambatannya genap 1 hari [ia kehilangan satu hari dibandingkan orang yg diam di tempatnya].
Orang yang berjalan ke arah timur, ia mengikuti arah yang berlawanan dengan gerakan matahari. Karena itu, matahari tenggelam 1/7 hari lebih cepat baginya setiap hari. Jadi, pada hari ke-7, matahari seolah sehari lebih cepat tenggelamnya yang berarti ia memperoleh tambahan 1 hari.
Dengan demikian, jika hari keberangkatannya adalah Jumat dan hari pertemuan mereka selanjutnya adalah sepekan kemudian pada hari Jumat sesuai perhitungan orang yang diam di tempatnya, maka orang yang berjalan ke arah barat terus menerus akan tiba dari arah timur dan menghitung harinya sebagai Kamis. Sebaliknya, orang yang berjalan ke arah timur dan kembali dari arah barat akan menghitung hari pertemuan itu sebagai Sabtu. Hasil semacam ini juga akan diperoleh jika perjalanan mengelilingi bumi itu perlu berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun.”
Dari kutipan di atas terlihat bahwa kesadaran akan bentuk bumi yang bulat di kalangan kaum muslimin di masa itu sudah jamak diketahui. Dari kenyataan ini mereka bisa membayangkan bagaimana perhitungan hari itu akan menghasilkan fenomena perbedaan perhitungan hari bagi para pengelana yang mengelilingi dunia. Dari gambaran di atas, kita juga bisa membayangkan jika kedua pengelana bertemu di tengah perjalanan, tepat di separuh bulatan bumi yang berlawanan dari tempat awal mereka bertemu, mereka berdua akan mendapati perbedaan tepat satu hari, yang satu menghitung masih hari Jumat, yang lain sudah hari Sabtu, misalnya.
Penyebaran Hitungan dan Urutan Hari
Dari cerita paradoks di atas, kita bisa melihat bahwa kedua pengelana tetap menghitung hari berdasarkan acuan awal hari di tempat asalnya. Hal ini juga menggambarkan bagaimana penyebaran perhitungan hari di antara umat manusia sejak masa awal peradaban. Bisa kita bayangkan, berdasarkan informasi ilahiah, Nabi Adam as. sebagai manusia pertama akan menjadi acuan dalam perhitungan hari. Kemanapun Nabi Adam dan anak cucunya pergi, mereka akan menghitung hari berdasarkan apa yang telah diawali oleh Nabi Adam. Jika Nabi Adam kemudian bermukim di sekitar Ka’bah, maka hari-hari yang dihitung oleh anak-anak cucunya atau kemudian umat-umat setelahnya akan mengacu kepada hitungan hari awal di wilayah Mekah. Baik mereka berpindah tempat ke arah timur maupun ke arah barat, atau ke arah yang lain, acuannya tetap hari yang mereka hitung sebelumnya dari tempat awal mereka tinggal.
Meskipun hitungan hari mereka tetap mengacu kepada hari-hari di awal tempat tinggal mereka, namun tanpa disadari. waktu awal-awal hari mereka [misal, terbitnya matahari atau tenggelamnya] akan berbeda dengan tempat asal. Mereka yang bergerak dan akhirnya bermukim di wilayah sebelah timur Jazirah Arab, misalnya, akan mengawali hari lebih dahulu daripada Mekah karena matahari akan tenggelam/terbit terlebih dahulu. Demikian juga yang bergerak ke barat dan tinggal di sana akan mengawali hari lebih lambat daripada Mekah. Semakin jauh dari Mekah semakin lebar juga perbedaan awal harinya.
Perubahan perhitungan hari semacam di atas juga terjadi saat kaum muslimin mulai bergerak dan berkembang ke wilayah lain di luar Mekah, Madinah dan Jazirah Arab. Mereka secara alami menggunakan acuan hari-hari di wilayah kelahiran Islam, bahkan saat mereka berpindah tempat ke wilayah lain, baik di sebelah barat maupun timur.
Sangat tidak masuk akal jika ada yang berpendapat bahwa hanya kaum muslimin yang bergerak ke arah barat Mekah saja yang menggunakan acuan hari Mekah sementara yang bergerak ke arah timur tidak. Ada sekelompok kaum muslimin yang percaya bahwa pergantian hari itu dimulai di Mekah. Artinya di wilayah sebelah timur jazirah Arab harinya harus beda: sehari sebelumnya daripada Mekah. Kepercayaan semacam ini tidak masuk akal.
Tidak masuk akal, amat tidak masuk akal, saat mereka bermusafir ke wilayah sebelah timur dari Mekah, mereka tiba-tiba memundurkan harinya menjadi hari sebelumnya. Tentunya mereka tetap menghitung hari berdasarkan hari di mana mereka memulai perjalanan. Perubahan hari tepat di sebelah timur wilayah Mekah sangat bertentangan dengan logika penyebaran umat manusia dan kaum muslimin serta acuan perhitungan hari di atas.
Catatan Sejarah Moderen Menunjukkan Perbedaan Hari bagi Para Pengeliling Bumi
Di bulan Januari 1594, saudagar Francesco Carletti (1573-1636) dari Florentina [Italia] memulai perjalanan keliling dunia mengikuti arah barat yang berlangsung hingga tahun 1606 dan ia ceritakan dalam buku: Ragionamenti del mio viaggio intorno al mondo. Berkelana dari Italia ke arah barat melalui wilayah kekuasaan Spanyol, menyeberangi Samudera Atlantis dan menyeberangi daratan Panama serta bermukim sejenak di Manila, ia berlabuh di pelabuhan Nagasaki, Jepang pada tahun 1597. Pada hari kedatangannya di sana, ia mengamati:
“Kami menemukan sebuah perbedaan dalam perhitungan hari antara kami (yang datang dari kota Manila) dengan kaum Portugis yang datang dari Makau, sebuah pulau milik Cina. Orang-orang Portugis ini, setelah meninggalkan Lisbon dan berlayar terus ke arah timur, telah tiba di Jepang sebagai titik terjauh perjalanan mereka. Selama perjalanan tersebut – karena matahari dari hari ke hari perjalanan terbit semakin awal – mereka mengumpulkan 12 jam hari alamiah [dalam mengawali hari dibandingkan saat berangkat]. Kami, sebaliknya – setelah meninggalkan pelabuhan Sanlucar de Barrameda di Spanyol dan terus berlayar ke arah barat dan kehilangan siang hari dari hari ke hari karena matahari selalu terbit lebih lambat – kehilangan 12 jam [dalam mengawali hari dibandingkan saat berangkat]. Jadi, saat kami berdiskusi dengan mereka, kami menemukan bahwa kami telah mencapai perbedaan selama satu hari penuh. Dan saat mereka [orang-orang Portugis] berkata hari ini adalah hari Ahad, kami menghitungnya sebagai hari Sabtu. Jika saja dalam perjalanan keliling duniaku ini aku tidak bertemu dengan orang-orang Portugis tersebut, saat aku tiba kembali di Eropa, aku tentunya sudah kehilangan tepat satu hari atau 24 jam.”
Sekali lagi kita melihat bagaimana para pengelana, saat berpindah tempat ke berbagai wilayah dunia, tetap mencatat hitungan pergantian hari mereka berdasarkan hari tempat awal perjalanan. Mereka baru menyadari adanya perbedaan perhitungan hari saat ada perbedaan arah perjalanan dan bertemu kembali di tengah perjalanan.
Hari-hari Di Daratan Eropa dan Asia adalah Sama, Jauh Sebelum Ada Istilah IDL
Catatan sejarah di atas adalah apa yang terjadi di antara para penjelajah dunia. Bagaimana dengan penduduk asli yang telah lama menetap di wilayah-wilayah yang berbeda di penjuru dunia? Kita akan lihat dari catatan sejarah lainnya di bawah ini.
Ketika penjelajah dan kapten laut Inggris William Dampier (1651-1715) mengangkat sauh setelah pemberhentiannya di pulau Mindanao, Filipina pada bulan Januari 1687 – dalam perjalanan keliling dunianya dari 1679 sd 1691 – ia membuat catatan dalam buku hariannya:
“Barulah saat kami tinggal di Mindanao kami bisa memahami perubahan waktu [hari] dalam penjelajahan kami. Karena berlayar ke arah barat, mengikuti arah matahari, kami tanpa terasa menambah panjang hari-hari yang kami lalui namun pada akhirnya ketinggalan dalam bilangan hari atau jam. Berdasarkan perbedaan bujur Inggris dan Mindanao – pulau ini di sebelah barat meridian [bujur acuan] – sebesar 210 derajat, beda bilangan waktu saat kami tiba di Mindanao seharusnya sekitar 14 jam: Dan sebesar itulah kami telah mengantisipasi perbedaan perhitungan waktunya. Sementara itu, hari alamiah di setiap tempat tentunya mengikuti daurnya sendiri dan ini – baik [di tempat yang berada di] arah edar matahari atau berlawanan dengannya – akan menghasilkan perbedaan perhitungan hari sipil antara dua tempat.
Sesuai dengan hal itu, di Mindanao dan tempat-tempat lainnya di Hindia-Timur, kami menemukan penduduknya menghitung sehari lebih awal daripada kami, baik kaum pribumi maupun kaum Eropa [yang tinggal di sana]. Karena kaum Eropa [yang sudah tinggal bersama penduduk setempat itu] datang dari Tanjung Harapan [di ujung benua Afrika] ke arah timur, berlawanan dengan peredaran matahari dan juga [arah datang] kami, di mana saja kami menemui mereka [kaum Eropa], mereka sehari lebih awal daripada kami dalam perhitungannya. Demikian pula di antara pengikut Nabi Muhammad di [wilayah] Hindia [Belanda] sini, hari Jumat mereka – hari Sultan mereka keluar menuju masjid-masjid – bagi kami adalah hari Kamis, meskipun hari itu adalah hari Jumat [Friday] juga bagi mereka yang datang ke arah timur dari Eropa.
Sementara itu, di kepulauan Ladrone, kami menemukan orang-orang Spanyol di Guam memiliki perhitungan yang sama dengan kami. Penyebab dari hal tersebut adalah bahwa orang-orang Spanyol ini pergi [ke barat] ke Amerika terlebih dahulu baru kemudian ke Ladrone dan Filipina.”
Jelas terlihat dari buku harian William Dampier di atas bahwa hari-hari di Eropa maupun di Asia adalah sama. Sangat penting dicatat bahwa hari Jumat [Friday] pendatang Eropa di Asia sama dengan hari Jumat kaum muslimin yang sudah terlebih dahulu menetap di sana. Karena orang-orang Eropa ini mengacu hitungan hari di tempat asal mereka, ini berarti bahwa hari-hari di Eropa sama dengan hari-hari di wilayah timur benua Asia.
Terkait dengan hari-hari di kalangan kaum muslimin, catatan di atas menunjukkan bahwa baik hari di wilayah sebelah barat Mekah maupun sebelah timurnya adalah sama. Bahkan wilayah yang amat jauh dari Mekah, di Spanyol sebelah barat hingga Indonesia di timur, memiliki hitungan dan nama hari yang sama ratusan tahun sebelum adanya Konferensi Meridian Utama (1884) ataupun Garis Batas Pergantian Tanggal atau IDL di jaman sekarang.
Ada sekelompok kaum muslimin yang menyatakan bahwa sebelum ada IDL, tempat pergantian hari adalah di wilayah Mekah atau Jazirah Arab. Mereka juga menyebarkan kabar burung bahwa sebelum 1884, urutan hari-hari di Nusantara tidak sama dengan urutan yang sekarang.
Namun catatan sejarah di atas membantah secara telak pernyataan tersebut. Sebaliknya, perhitungan hari di antara umat manusia berjalan secara alamiah mengikuti penyebaran manusia di muka bumi. Jika dahulu manusia atau kaum muslimin bermula di wilayah Jazirah Arab, maka saat mereka menyebar keluar dari jazirah tersebut, ke arah manapun, mereka membawa perhitungan hari yang sama dengan Jazirah Arab. Hasilnya, saat kedua kelompok penyebaran tersebut bertemu di wilayah Samudera Pasifik, mereka menemukan perbedaan perhitungan hari. Dari sinilah secara alami muncul garis pergantian hari/tanggal.
Rujukan:
– https://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/idl/idl.htm
– Carletti, Francesco, My Voyage around the World (London: Methuen & Co., 1965) – edited and translated by H. Weinstock.
– Clements R. Markham, The Natural & Moral History of the Indies, by Father Joseph de Acosta: Reprinted from the English Translated Edition of Edward Grimston, 1604: Vol. I. The Natural History (Books I, II, III, and IV) (London: Hakluyt Society, 1880 [1879] [= Works Issued by the Hakluyt Society: First Series, nr. LX]), pp. 172-174