Selama sekitar 3 hari, telah berlangsung Seminar Internasional Fiqih Falak yang dimotori oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dan dihadiri oleh para pakar dan pemerhati ilmu Falak dan kelender Islam baik di Indonesia maupun negeri tetangga. Seminar yang berakhir pada 30 November 2017 ini menghasilkan Rekomendasi Jakarta yang berisi usulan dari para peserta seminar akan bentuk dan kriteria Kalender Islam Internasional (Global).
Sebagian rekaman dari seminar ini bisa dilihat melalui YouTube (Ibnu Zaid Muid).
Berikut ini adalah berita yang dikutip dari situs Kementerian Agama RI:
Pakar Falak Indonesia Dr. Izzudin yang bertindak selaku moderator pada sessi pemaparan usulan kriteria kalender hijriyah global mengatakan, secara umum utusan egara yang hadir mengapresiasi dan mendukung kriteria usulan yang ditawarkan Indonesia untuk mewujudkan kalender Hijriyah Global.
“Mereka yang sudah menyatakan setuju antara lain Yordania, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Melalui wakilnya menyampaikan bahwa mereka mendukung dan menyetujui kriteria usulan Indonesia,†ujarnya di Jakarta, Rabu (29/11).
Kementerian Agama menggelar seminar Internasional Fiqih Falak guna membahas kalender hijriyah global tunggal. Seminar yang merupakan kelanjutan dari kegiatan yang sama di Turki ini diikuti para ahli falak dan astronomi dari empat belas negara, yaitu: yaitu Maroko, Irlandia, India, Ingris, Uni Emirat Arab, Yordania, singapura, Irak, Arab Saudi, Iran, Amerika, Brunei, Malaysia dan Indonesia.
Mewakili Indonesia, Kepala Lembaga Penerbangan dan antariksa Nasional (LAPAN) Prof. Dr. Thomas Djamaludin memaparkan usulan kriteria kalender hijriyah global dari Indonesia. Usulan ini merupakan tanggapan atas nama Indonesia terhadap kriteria Turki yang telah disepakati secara voting pada Mei 2016 lalu.
Kriteria Turki menyepakati bahwa awal bulan Qamariyah dapat dimulai dengan kriteria elongasi hilal 8 derajat dan ketiggian hilal minimal 5 derajat dengan syarat di Selandia Baru sebagai daratan paling timur belum terjadi fajar. Menurut Thomas Djamaludin, berdasarkan analisa yang dilakukan, masih banyak problem dan kekurangan yang ditemukan jika kriteria Turki diterapkan.
“Masalahnya, jika melihat pada garis tanggal, dengan menerapkan kriteria Turki, jika di Amerika Selatan sebagai negara yang berada di wilayah timur, tinggi hilalnya sudah positif, di daerah Asia Tenggara tinggi hilal masih minus,†papar Thomas Djamaludin.
Untuk itu, lanjut T. Djamaludin, Indonesia mengusulkan proposal baru sebagai kriteria alternatif keputusan Turki. Usulan Indoensia, yaitu:
Pertama, elongasi minimal 6,4 derajat, dengan tingi hilal minimal 3 derajat dan mengambil markaz wilayah Indonesia barat. Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada data simulasi yang dikumpulkan untuk 180 tahun dengan sampel lokasi Pelabuhan Ratu dan Aceh. Jika elongasi hilal telah berada pada ketinggian 6,4 derajat maka dijamin bulan sudah berada di atas ufuk.
Selain itu, wilayah Indonesia Barat juga memiliki beda waktu 6 jam dengan Samoa sebagai batas garis tanggal. Artinya, jika wilayah Indonesia barat ketinggian hilal sudah 3 derajat, maka seuruh dunia secara umum hilal sudah ada di atas ufuk.
Kedua, mengguanakan garis tanggal internasional. Dan ketiga, menetapkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai otoritas tunggal dalam penetapan kalender hijriyah global.
Izzuddin menilai, kriteria Indonesia ini dapat menggakomodasi kriteria Rukyah dan Wujudulhilal. “Usulan kriteria ini merupakan penyempurnaan bagi kriteria Turki yang telah disepakati, dan memberikan solusi konstruktif kalender hijriyah global untuk kebersamaan,†paparnya.