Setiap kita memasuki Tahun Baru Islam dalam Kalender Hijriyah, kita semestinya mengingat Khalifah ke-2 kaum muslimin: ‘Umar bin Khattab (عمر بن الخطاب). Dengan ketetapan dari beliaulah, tahun Hijriyah yang kita pakai sampai sekarang dilahirkan.
Dalam sejarah kaum muslimin, adalah shahabat Nabi Muhammad saw, Abu Musa al-Asy’ari, yang pada waktu itu menjabat gubernur di Basrah, Iraq yang pertama kali mengutarakan adanya masalah dalam penanggalan hijriyah. Beliau, pada sekitar tahun 17 H (638 M), menulis surat kepada Khalifah ‘Umar: “Amirul Mukminin, kami menerima perintah-perintah dari Anda dari waktu ke waktu, namun karena surat-surat tersebut tidak ada tahunnya, dan kadangkala isi surat-surat tersebut berbeda instruksi, terjadilah kesulitan untuk memastikan perintah yang mana yang harus kami jalankan.” Surat tersebut membuat ‘Umar berfikir. Dalam masa selanjutnya, ia menerima surat dari Yaman berisi permintaan pembayaran yang harus diberikan untuk bulan Sya’ban. Namun, karena tidak ada tahunnya, ia tidak tahu bulan Sya’ban tahun ini ataukah tahun depan yang dimaksud.
‘Umar kemudian mengumpulkan para Sahabat lainnya dalam sebuah musyawarah untuk mengatasi masalah kalender islam ini.
Ada yang mengusulkan untuk mengikuti kalender Romawi (Julian). Namun setelah dikaji, ia ditolak karena dianggap terlalu tua permulaannya. Seorang sahabat yang berasal dari bangsawan Persia bernama Hormuzan menjelaskan sistem kalender “Mahruz” yang berlaku di sana. Meskipun cukup menarik, kalender Persia tersebut juga ditolak.
Musyawarah itu akhirnya memutuskan bahwa kaum muslimin hendaknya memiliki kalender islam sendiri. Maka kalender qomariyah yang telah lama digunakan dalam masyarakat islam, digunakan oleh Nabi Muhammad saw dan ditetapkan di dalam Al Qur’an akan dijadikan kalender resmi pemerintahan islam.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai tahun, kapan kalender islam ini dimulai tahunnya?
Beberapa pendapat pun mengemuka. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi Muhammad, ada yang mengusulkan tahun diangkatnya Nabi menjadi Rasulullah, ada pula yang mengusulkan tahun wafatnya Nabi saw. Namun, saat ‘Ali bin Abi Thalib mengusulkan tahun hijrah Nabi dan kaum muslimin, musyawarah lebih condong kepada usulan tersebut.
‘Umar bin Khattab sendiri setuju dengan usulah ‘Ali. Ibnu Hajar Asyqolani dalam kitab Fathul Bari merekam perkataan ‘Umar: “Hijrah itu telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka daripada itu tepatlah jika ia menjadi tonggak era penanggalan ini.”
Kemudian ditentukanlah bulan mana di antara ke-12 bulan yang dijadikan sebagai awal tahun. Bangsa Arab secara tradisi telah menggunakan Muharram sebagai awal tahun. Dalam musyawarah ditetapkanlah agar tradisi tersebut diikuti. Dengan demikian, kalender islam dimulai 2 bulan sebelum Rasulullah saw berhijrah dari Mekah ke Madinah di bulan Rabi’ul Awwal.
Demikianlah, sejak saat itu, kalender Islam disebut juga kalender Hijriyah karena menggunakan momen sejarah hijrahnya kaum muslimin sebagai tonggak awal.
Hari pertama kalender islam tersebut, 1 Muharram 1 Hijriyah, bertepatan dengan hari Jum’at, 16 Juli 622 M (era Julian) atau 19 Juli 622 M (era Gregorian).