Semenjak munculnya video Gubernur Jakarta, Ahok, yang menyatakan bahwa kaum muslimin dibodohi dengan surat Al Maidah ayat 51, para ulama angkat bicara mengenai maksud atau tafsir ayat tersebut. Majelis Ulama Indonesia pun mengeluarkan pernyataan sikap bahwa tafsir Al Maidah: 51 tersebut memang sudah disepakati oleh jumhur ulama bahwa kaum muslimin dilarang menyerahkan perwalian (loyalitas, termasuk kepemimpinan) kepada orang non-muslim.
Namun tidak sedikit pula tokoh yang berkomentar dan berpendapat bahwa tafsiran tersebut bermuatan politis. Untuk menjegal lawan dan semacamnya.
Umar bin Khattab dan Sekretaris Non-muslim
Bagi kaum muslimin, cukuplah apa yang dilakukan Khalifah ‘Umar bin Khattab di bawah ini menjadi contoh bagaimana kita mengamalkan surat Al Maidah: 51 tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sahabat yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Nabi Muhammad saw, yang juga salah satu orang yang dijamin masuk surga, yang setan tak berani bertemu dengannya, yang menjadikan islam kuat dengan keislamannya, ‘Umar lebih pantas diikuti dibandingkan para tokoh-tokoh yang belum jelas jaminan surganya.
Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Makna auliya (أَوْلÙيَاءَ) adalah walijah (ÙˆÙŽÙ„ÙيجةÙ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat†(lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).
Ibnu Katsir menjelaskan tafsir surat Al Maidah ayat 51 sebagai berikut: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“â€.
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘â€Â (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.
Dalam tafsir “Al-Kasyf wa Al-Bayan“, Imam Abu Ishaq Ats-Tsa’laby telah menukil sebuah kisah dari Iyadh Al-Asy’ary;
وقال عياض الأشعري : ÙˆÙد أبو موسى الأشعري إلى عمر بن الخطاب ØŒ Ùقال : إن عندنا كاتباً ØاÙظاً نصرانياً من Øاله كذا وكذا . Ùقال : مالك قاتلك الله ØŸ أما سمعت قول الله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم ) الآية ØŒ وقوله ( لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء ) ØŸ هلا اتخذت ØنيÙيّاً
“Dan Iyadh Al-Asy’ary berkata; Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ary datang kepada Umar Ibn Khattab dan berkata; “Kita memiliki seorang penulis (pencatat/sekretaris) yang terpercaya dan beragama Nasrani, dimana orangnya begini dan begini (menyanjung kelebihannya). Kemudian Umar pun berkata; “Ada apa denganmu? Sungguh Allah akan memerangimu (ungkapan pengingkaran), tidakkah telah kau dengar Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu†dan juga Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali(mu).†Mengapa tidak kau ambil saja orang yang Hanif? (orang yang bertauhid dan bukan musyrik).â€
Selain Imam Ats-Tsa’laby, kisah di atas telah dinukil juga oleh beberapa Mufassir lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya telah dinukil oleh Abu Zahrah dalam kitabnya “Zahrah At-Tafasir†saat mengatakan;
ولقد كان عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – ينهى عن أن يستخدم غير المسلمين ÙÙŠ الدولة الإسلامية، ويروى ÙÙŠ ذلك أن أبا موسى الأشعري كان له كاتب نصراني، Ùأرسل إليه أمير المؤمنين عمر ينهاه عن ذلك، وجاء ÙÙŠ آخر كتابه: (لا تقرّÙبوهم إذ أقصاهم الله) Ùرد عليه أبو موسى يقول له: (لا قوام للبصرة إلا به). Ùكتب إليه عمر مرة أخرى كلمة موجزة: (مات النصراني والسلام) وقد Ùسر الزمخشري تلك الكلمة الموجزة بقوله: (يعني أنه قد مات، Ùما كنت تكون صانعا Øينئذ Ùاصنعه الساعة، واستغن عنه بغيره).
“Dan dahulu Umar ibn Khattab Radhiyallahu ‘Anhu melarang penggunaan non-Muslim di Negeri Muslim. Dan telah diriwayatkan dalam hal tersebut bahwa Abu Musa Al-Asy’ary memiliki seorang penulis (sekretaris) beragama Nasrani, lalu Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab mengirimkan surat kepadanya melarang akan hal tersebut. Dan di akhir surat tersebut dikatakan; “Janganlah engkau mendekatkan mereka (non-Muslim) sedangkan Allah telah menjauhkan merekaâ€. Lalu Abu Musa pun membalas surat tersebut dengan berkata; “Urusan di Basrah ini takkan berjalan tanpa dia (sekretaris Nasrani tadi)â€. Lalu Umar pun kembali menyuratinya dengan perkataan singkat; “Orang Nasrani itu telah mati! Wassalam!â€.
Imam Al-Zamakhsary telah menafsirkan kalimat singkat tersebut dengan menjelaskan; “Maksudnya adalah: Orang Nasrani tersebut (anggap saja) telah mati, dan apa yang –akan– kau lakukan saat Nasrani itu telah mati, maka lakukanlah saat ini juga, dan angkatlah orang lain (sekretaris yang lain) untuk menggantikannya.â€â€
Dari kisah di atas, setidaknya dapat kita pahami mengenai beberapa hal;
Pertama, Khalifah Umar sangat marah saat Abu Musa Al-Asy’ary –selaku Gubernur Basrah kala itu– mengangkat seorang sekretaris beragama Nasrani. Meskipun Abu Musa telah menyampaikan tabayyun dan memberikan alasan bahwa orang Nasrani tersebut adalah sosok yang handal dan piawai (bahkan urusan di Basrah takkan berjalan tanpa dia), namun Khalifah Umar tetap tidak menerima alasan tersebut dan tetap memberi perintah untuk segera mencopotnya lalu menggantinya dengan seorang sekretaris Muslim.
Kedua, saat menolak kebijakan Abu Musa Al-Asy’ary, Khalifah Umar memandang bahwa pengangkatan seorang sekretaris non-Muslim di negeri Muslim adalah sesuatu yang tidak logis. Karena logikanya, dalam sebuah masyarakat mayoritas Muslim, mustahil tidak ditemukan seorang Muslim yang lebih kredibel dibanding satu orang Nasrani yang disanjung-sanjung oleh Abu Musa tadi. Dan kalau saja memang tidak ada orang yang lebih mumpuni dibanding sekretaris Nasrani tadi, tentunya Khalifah Umar pasti takkan memerintahkan gubernurnya untuk mencopot sekretaris andalannya itu, sebab itu sama saja dengan perintah untuk melakukan hal yang mustahil, yang itu bertentangan dengan nalar dan syara’.
Ketiga, Khalifah Umar dalam penolakannya tersebut ternyata tidak murni mengedepankan wewenang kekuasaannya saja, tapi juga dalam rangka menerapkan dua perintah Allah yang telah termaktub jelas dalam Al-Qur’an:
Pertama adalah surat Ali Imran ayat 118 yang selengkapnya berbunyi;
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ آمَنÙواْ لاَ تَتَّخÙØ°Ùواْ بÙطَانَةً مّÙÙ† دÙونÙÙƒÙمْ لاَ يَأْلÙونَكÙمْ خَبَالاً وَدّÙواْ مَا عَنÙتّÙمْ قَدْ بَدَت٠الْبَغْضَاء Ù…Ùنْ Ø£ÙŽÙْوَاهÙÙ‡Ùمْ وَمَا تÙخْÙÙÙŠ صÙدÙورÙÙ‡Ùمْ أَكْبَر٠قَدْ بَيَّنَّا Ù„ÙŽÙƒÙم٠الآيَات٠إÙÙ† ÙƒÙنتÙمْ تَعْقÙÙ„Ùونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.†[QS: Ali Imran [3]: 118]
Kedua adalah surat Al-Maidah ayat 51 yang selengkapnya berbunyi;
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ آمَنÙواْ لاَ تَتَّخÙØ°Ùواْ الْيَهÙودَ وَالنَّصَارَى أَوْلÙيَاء بَعْضÙÙ‡Ùمْ أَوْلÙيَاء بَعْض٠وَمَن يَتَوَلَّهÙÙ… مّÙنكÙمْ ÙÙŽØ¥Ùنَّه٠مÙنْهÙمْ Ø¥Ùنَّ اللّهَ لاَ يَهْدÙÙŠ الْقَوْمَ الظَّالÙÙ…Ùينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali (mu); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.†[QS: Al Maidah (5):51 ].
Ini artinya, kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan sebagai dalil akan “larangan mengangkat non-Muslim untuk menduduki jabatan vital di negeri mayoritas Muslimâ€Â tentunya jabatan penting lainnya yang lebih tinggi dari sekedar sekretaris gubernur.
Sumber: Hidayatullah