Jika anda muslim dan memelihara jenggot di Tajikistan, maka bersiaplah untuk ditangkap polisi dan dicukur paksa. Demikian juga jika anda muslimah dan berjilbab, tidak ada tempat bagi anda di sekolah, universitas dan institusi publik. Itulah yang terjadi di Tajikistan, negeri bekas wilayah jajahan Uni Soviet, yang ironisnya hampir 100% penduduknya adalah muslim.
Islamophobia, rasa takut yang berlebihan terhadap islam, yang dimiliki oleh penguasa Tajikistan saat ini seperti meneruskan aneka kebijakan di masa pendudukan pemerintahan komunisi Uni Soviet.
Pemerintah Tajikistan beralasan, larangan tersebut untuk menekan ‘radikalisasi’ kaum muslimin. Sebagai gantinya, mereka mendorong penggunaan baju dan budaya ‘tradisional’. Bahkan mengenakan baju hitam pun tidak disukai pemerintah di sana. Bukan budaya Tajikistan katanya. Para orang tua dianjurkan menamai anaknya dengan bahasa Tajik. Nama yang berbau islam atau arab tidak dianjurkan di sana.
Padahal, di ibukota Tajikistan, Dushanbe, berdiri megah sebuah patung yang menggambarkan salah satu penguasa terbaik Tajikistan di masa lalu. Ya, di sana berdiri patung Raja Ismail bin Ahmad, atau Ismail Samani, yang terkenal adil dan murah hati yang membawa Tajikistan dalam kekuasaan islam di abad ke-8 Masehi. Dan wajah Sang Raja juga diabadikan sebagai nama mata uang Tajikistan serta tercetak dalam salah satu lembar mata uang mereka. Di sana tergambar seorang Raja Muslim lengkap dengan jenggotnya.
Sepertinya pemerintah Tajikistan menutup mata terhadap tradisi dan sejarah negeri mereka sendiri yang kental dengan nilai-nilai islam.
Usaha mereka menekan radikalisasi dengan cara seperti itu, bisa jadi malah menjadi bumerang di kemudian hari. Seperti yang diungkapkan oleh Djovid Akramov yang pernah ditangkap polisi karena berjenggot:
“Yang paling buruk adalah ketidaksopanan para polisi yang menikmati kesempatan untuk menghina (merendahkan, mem-bully) orang lain.”
Ia tak bisa melupakan rasa terhina yang ia rasakan saat dicukur paksa jenggotnya di kantor polisi. Ribuan, bahkan puluhan ribu, laki-laki muslim Tajik telah mengalami perlakuan serupa. “Perlakuan semacam itulah yang jusrtru bisa membuat orang menjadi radikal”, kata Djovid.
Sumber: BBC