Kesaksian terlihatnya hilal atau bulan sabit terbaru dari Cakung, Jakarta Timur sering menjadi kontroversi. Kemarin, dalam sidang itsbat kementerian agama RI untuk menentukan awal ramadhan 1433 H, hal ini terjadi lagi. Ketika semua perukyat dari berbagai ormas islam lainnya di seluruh indonesia tidak berhasil melihat anak bulan sabit (hilal), tim rukyat di Cakung mengklaim melihat bulan pada ketinggian 3,5 derajat pada pukul 17:53 WIB selama 5 menit.
Bagaimana menyikapi hal seperti ini? Benarkah kesaksian dari Cakung ini? Pantaskah ia ditolak oleh sidang itsbat?
Berikut adalah petikan tulisan dari saudara Ma’rufin Sudibyo seorang praktisi ilmu falak dan pemerhati masalah hisab rukyat hilal dari halaman facebooknya. Tulisan ini menurut kami sangat bagus sebagai kritikan terhadap praktek rukyatul hilal di Cakung dan sebagai penguat akan pentingnya dasar hisab atau perhitungan ilmiah dan kajian ilmu falak atau astronomi yang mumpuni dalam melaksanakan rukyatul hilal.
Menurut Pak Ma’rufin Sudibyo, ada empat alasan mengapa klaim terlihatnya bulan sabit di Cakung, meskipun oleh 4 orang dan telah disumpah, pantas ditolak oleh sidang itsbat.
Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan) Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima’ misalnya, jika sistem hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima’ terjadi pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu
Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925 silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima’ hisab Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari… Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.
terminologi “tinggi hilaal” dalam hisab Mansyuriyah berbeda dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. “Tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012 ini), mak “tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah menjadi miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegak lurus terhadap horizon.
Selain itu, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2 derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku untuk sistem hisab mutakhir. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25 derajat.
Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur telah menggarisbawahi kalau “tinggi hilaal” yang bisa diterima sebagai parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Jadi, jika perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada kesilapan mendasar.
Cakung bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan sebagainya.
Kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Nilai kontras Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata. Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga mata takkan bisa membedakannya.
Semoga tulisan dapat memberikan pencerahan kepada saudara-saudara kaum muslimin.
Secara hisab, Ijtima’ akhir Jumada al-Ula 1446 H terjadi hari Ahad, 1 Desember…
Berdasarkan hisab visibilitas hilal 1 Jumadil Awal 1446 H, bulan sabit pertama akan bisa diamati…
Kementerian Agama Republik Indonesia telah secara resmi merilis Kalender Islam 2025. Kemenag RI memberi tajuk…
Bulan Rabiul Akhir 1446 H ditandai dengan ijtimak siklus bulan ke-17.344 dalam kalender hijriyah yang…
Prosesi rukyatul hilal atau melihat hilal awal bulan Dzulhijah telah dilakukan di berbagai negara pada…
Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Arab Saudi kemarin petang waktu setempat, ditetapkan bahwa 1 Dzulhijah 1445…
View Comments
baik juga datang ke cakung melihat dengan metode mereka. bukankah kabarnya mereka melihat hilal setiap bulannya?
Berpuasa di hari raya iedul fitri hukumnya HARAM dan meninggalkan puasa Romadhon dgn sengaja juga berdosa, Nah loh..... para penentu inilah yg berbeda bendapat yg menanamkan kita untuk berbuat DOSA & atas keputusan mereka jugalah umat jadi RESAH berlumuran DOSA yg disebabkan suatu pengambilan keputusan yg salah. Dlm dalil juga sudah disebutkan Atiulloha wa 'AtiuRosul wa Ulil Amri Minkum, kenapa yg lain harus repot2 ikut menentukan. Kalo memang meNYIMPANG ya di luruskan, salah di benarkan rembuk dan konform. Knp harus saling menonjolkan diri, islam khan rahmatan lil Alamin bukan lil individuilil. Pina mesti, Pang paling Na, Nehep dlsb...... itu
Ini