Dalam hidup bermasyarakat, kadang kala antar satu muslim dengan yang lainnya terjadi perselisihan karena beda cara beribadah, beda gerakan sholat atau ritual lainnya. Tak jarang, perbedaan atau khilafiyah tersebut berujung kepada perpecahan di dalam persaudaraan atau ukhuwah islamiyah. Sangat disayangkan.
Berikut ini adalah contoh dari para pendahulu kaum muslimin, dari generasi yang lebih dekat dengan masa kehidupan Rasulullah Muhammad saw dan para shahabatnya. Merekalah teladan terbaik kita dalam menyikapi perbedaan atau khilafiyah ini.
Sejak dahulu para salafus shalih dan para imam sangat inshaf, adil dan menghargai perbedaan. Ada beberapa perkataan mereka yang bisa kita teladani dan kita renungkan bersama. Misalnya perkataan berikut ini :
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri Rahimahullah, sebagai berikut:
سÙيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختل٠Ùيه وأنت ترى غيره Ùلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.â€
(Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. )
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
ÙˆÙŽÙ…Ùمَّا يَتَعَلَّق بÙالÙاجْتÙهَاد٠لَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„Ùلْعَوَامّ٠مَدْخَل ÙÙيه٠، وَلَا Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ Ø¥Ùنْكَاره ØŒ بَلْ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ Ù„ÙلْعÙلَمَاء٠. Ø«Ùمَّ الْعÙلَمَاء Ø¥Ùنَّمَا ÙŠÙنْكÙرÙونَ مَا Ø£ÙجْمÙعَ عَلَيْه٠أَمَّا الْمÙخْتَلَ٠ÙÙيه٠Ùَلَا Ø¥Ùنْكَار ÙÙيه٠لÙأَنَّ عَلَى Ø£ÙŽØَد الْمَذْهَبَيْن٠كÙلّ Ù…ÙجْتَهÙد٠مÙصÙيبٌ . وَهَذَا Ù‡ÙÙˆÙŽ الْمÙخْتَار عÙنْد ÙƒÙŽØ«ÙيرÙينَ Ù…Ùنْ الْمÙØَقّÙÙ‚Ùينَأَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمÙصÙيب وَاØÙد وَالْمÙخْطÙئ غَيْر Ù…Ùتَعَيَّن لَنَا ØŒ وَالْإÙثْم مَرْÙÙوع عَنْهÙ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya,tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.â€
(Al Minhaj Syarh Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’. )
Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعÙدَة٠الْخَامÙسَة٠وَالثَّلَاثÙونَ †لَا ÙŠÙنْكَر٠الْمÙخْتَلَÙÙ ÙÙيه٠، ÙˆÙŽØ¥Ùنَّمَا ÙŠÙنْكَر٠الْمÙجْمَع٠عَلَيْهÙ
“Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.â€
(Kaidah yang ke-35, Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285 )
Berkata Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
لقد كان الخلا٠موجودًا ÙÙŠ عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي ØنيÙØ© ومالك والشاÙعي وأØمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم ÙŠØاول Ø£Øد منهم أن ÙŠØمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم ÙÙŠ علمهم أو دينهم من أجل مخالÙتهم .
“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.†(Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. )
Beliau juga berkata:
Ùالاجتهاد إذا كان ÙˆÙقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط ÙÙŠ علم أصول الÙقه يجب عدم الإنكار عليه ØŒ ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ØŒ ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى Ùتنة .
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.
†(Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. )
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:
قال ابن الجنيد: وسمعت ÙŠØيى، يقول: تØريم النبيذ صØÙŠØØŒ ولكن أقÙØŒ ولا Ø£Øرمه، قد شربه قوم صالØون بأØاديث صØاØØŒ ÙˆØرمه قوم صالØون بأØاديث صØاØ.
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.â€
(Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Cet.9, 1993M-1413H. Mu’asasah Ar Risalah, Beirut-Libanon. )
Dengan berguru kepada Asatidz yang memahami, mengamalkan dan meneladani sikap para salafushaleh di atas maka kita sudah melaksanakan cara beragama yang benar.
Semoga bermanfaat.