Berdasarkan Maklumat PP Muhammadiyah nomor 02/MLM/I.0/E/2014 tentang “Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1435 Hijriyah” yang ditetapkan pada tanggal 8 Mei 2014, maka berikut ini adalah tanggal mulainya Ramadhan dan dua hari raya, Idul Fitri serta Idul Adhha untuk tahun 1435 H:
- Awal Puasa, 1 Ramadhan 1435 H = Sabtu, 28 Juni 2014
- Idul Fitri, 1 Syawal 1435 H = Senin, 28 Juli 2014
- Idul Adhha, 10 Dzulhijjah 1435 H = Sabtu, 4 Oktober 2014
Demikianlah kutipan dari Maklumat tersebut yang selengkapnya bisa diunduh melalui tautan berikut ini:
Maklumat PP Muhammadiyah ttg Ramadhan 1435 H (3068 downloads )Maklumat-PP-Muhammadiyah-02-MLM-I.O-E-2014-Hisab-1435-H-plus-penjelasan (ukuran besar, 7 Mb)
Imsakiyah Ramadhan Versi Muhammadiyah
Untuk mereka yang mengikuti keputusan PP Muhammadiyah, Alhabib telah menyediakan layanan pembuatan jadwal imsakiyah ramadhan yang mudah untuk seluruh kota di Indonesia. Jadwal yang telah dibuat dapat diunduh sebagai PDF maupun berkas Excel. Layanan tersebut dapat dilihat pada halaman Jadwal Imsakiyah Ramadhan 1435 H versi Muhammadiyah.
Berbeda Puasa & Lebaran
Tahun ini, kaum muslimin di Indonesia akan berpuasa dan berlebaran tidak bersamaan lagi. Pasalnya, PP Muhammadiyah masih tetap berbeda kriteria dengan kebanyakan ormas islam lainnya dalam menetapkan kalender hijriyah. Dengan kriteria wujudul hilal dipastikan tahun 2014 ini, atau 1435 Hijriyah, Muhammadiyah akan berpuasa dan berlebaran sehari lebih dahulu daripada ormas-ormas islam lainnya yang difasilitasi pemerintah Indonesia melalui sidang itsbat berdasarkan laporan rukyatul hilal atau kriteria imkanur rukyat.
Berdasarkan perhitungan astronomis, bulan sabit baru tanda masuknya bulan Ramadhan 1435 H akan mustahil dilihat dengan mata telanjang atau bahkan dengan bantuan teleskop pada petang hari Jum’at, 27 Juni 2014. Baru pada petang hari berikutnya, hilal bisa dilihat dengan mudah di seluruh dunia.
Waktu Hijriyah & Masehi
Dari Anas r.a, Rasulullah s.a.w bersabda:
“Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dengan perkara
itulah dia akan memperoleh kemanisan iman: Seseorang yang mencintai Allah dan
RasulNya lebih daripada selain keduanya, mencintai seorang hanya karena Allah,
tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari
kekafiran itu, sebagaimana dia juga tidak suka dicampakkan ke dalam
Neraka” (HR Bukhari & Muslim)
myQuran –
Komunitas Muslim Indonesia
»
Topik Umum »
Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Pendidikan
(Moderator: Abdul_Maliksyah) »
Ma’kah Mean Time
(Jam Hijriah)
« sebelumnya
berikutnya »
Cetak
Halaman: [1] Turun
Penulis Topik: Ma’kah Mean Time (Jam Hijriah)
(Dibaca 1044 kali)
Top of Form
azzam_mabrur
myQ Aktivis
Tulisan: 1.514
Jenis kelamin:
-sedang menepi-
Ma’kah Mean Time (Jam Hijriah)
« pada: 10 Januari 2012,
11:04:43 »
Setakat ini, umat Islam sudah memiliki almanak Islam yang
dimulai pada tahun 1 Hijriah. Adalah Ali bin Abdul Mutalib yang menggagas
peristiwa hijrah sebagai awal tahun Hijriah dan kemudian ditetapkan oleh
Kalifah Umar bin Khatab. Namun, sayangnya, almanak Islam itu belum dilengkapi
dengan jam hijriah (jam Islam) sehingga masih menggunakan jam konvensional
(jam Masehi) yang berdasarkan pada Greenwich Mean Time (GMT) dan Garis
Tanggal Internasional (International Date Line/IDL) yang ditetapkan pada 1884
di Washington DC dalam Konvensi Garis Bujur Internasional. Padahal, perpaduan
kedua hal tersebut sama sekali tidak tepat. Apalagi, jam konvensional itu
nyata-nyata keliru sebagaimana terbukti nanti.
Di atas semua itu, akan menimbulkan persoalan mengenai keabsahan ibadah
mahdah (murni) yang kita lakukan mengingat Surat Al Hujurat [49] Ayat 1
menyatakan bahwa, “Yaa ay-yuhal ladziina ‘aamanu laa tuqaddimuu baina
yadayillahi wa rosuulihi wattaqullaha, innallaha sami’un ‘aliim (Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui).â€
Faktanya, berdasarkan jam konvensional itu dan letak Greenwich pada posisi
00, Indonesia yang secara geografis terletak di antara 950 bujur timur
(BT)–1410 BT Greenwich dan kota Jakarta pada 1060 BT Greenwich lebih cepat
empat jam daripada Mekah yang terletak pada titik 410 Greenwich. Dengan
demikian, umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah mahdah lebih cepat
daripada Mekah. Karena hari Jumat di Indonesia awal harinya mengacu pada
konsepsi awal hari menurut penanggalan Masehi, yaitu pada pukul 00.00
(24.00), terjadilah kemudian salat jumat di Indonesia mendahului salat jumat
di Mekah. Akibatnya, salat jumat di Indonesia sejatinya adalah salat kamis,
puasa sunah Senin-Kamis sejatinya adalah puasa Ahad-Rabu. Salat tahajud yang
kita laksanakan pada sepertiga akhir malam meskipun absah, kita laksanakan
pada hari esoknya karena sudah melewati pukul 00.00 alias pukul 03.00 dini
hari.
Penyebabnya adalah karena IDL dahulu membuat hari-hari yang berjalan di
wilayah Indonesia dimajukan 28 jam sehingga hari (WIB) lebih dahulu 4 jam
daripada Mekah. Untuk memenuhi ayat 1 Al Hujurat tadi, maka perlu
dikembalikan seperti sebelum ada IDL. Jadi dimundurkan 28 jam sehingga
hari-hari di Mekah kembali menjadi lebih dahulu dibanding hari-hari di
Indonesia. Untuk menyesuaikan dengan konsep revisi tatanan waktu ini, atau
tepatnya kita kembali pada tatanan waktu seperti semula adalah kita harus
memundurkan hari-hari Islam yang digunakan, dari hari Ahad hingga hari Sabtu
mundur satu hari. Jika saat ini hari Kamis, ke depan setelah kita ubah, maka
menjadi hari Rabu, dan Rabu menjadi Selasa, dst. Dengan cara seperti itu,
Mekah kembali menjadi imam dalam perjalanan waktu di seluruh dunia, dan
hari-hari kita pun seterusnya menjadi benar kembali.
Posisi Jakarta menjadi 19 jam 36 menit lebih akhir daripada Mekah. Dalam hal
ini Indonesia berada pada titik 300 derajat bujur Mekah, dan Mekah sendiri
dijadikan sebagai titik nol derajat bujur Mekah. Berdasarkan penelitian Dr.
Husein Kamaluddin Ibrahim pada 1984, Mekah adalah pusat bumi (al-markaz
al-a’lam), bukan Greenwich yang digagas secara apriori dan tanpa dasar ilmiah
oleh Charles F. Dowd (Yahudi AS), yang kemudian ditetapkan dalam resolusi
kedua Konferensi Garis Bujur Internasional pada 1844. Awal hari juga dimulai
dari Mekah sebagai koordinat waktu pada pukul 06.00 petang, bukan pada titik
180 derajat bujur Greenwich, yaitu di Samudera Pasifik pada pukul 24.00
tengah malam, yang jarak selisih waktunya 16 jam dari Mekah. Akibatnya,
hari-hari Islam yang tadinya 20 jam setelah Mekah, menjadi maju 4 jam
mendahului Mekah. Adalah Stanford Fleming yang bertanggung jawab atas
perubahan ini karena dialah yang menggagas konsep regionalisasi zona waktu.
Mengenai upaya pembuatan ham Hijriah, sudah dimulai oleh praktisi muslim
semisal Ir. Yasin Ash-Syouk dan istrinya Habaa Ramo di Swiss, Harits Abu
Ukasyah dan Syafril di Indonesia pada Oktober 1994, dan E. Darmawan Abdullah
yang melalui bukunya Jam Hijriyah: Menguak Konsepsi Waktu dalam Islam
(Pustaka Al-Kautsar, 2011) menggagas jam Islam dalam konsepsi 24 jam, yang
membagi 12 jam siang sebagai sa’atu maasy (work time; waktu kerja) dan 12 jam
malam sebagai sa’atu tsubat (rest time; waktu istirahat). Demikian pula
Bambang E. Budhiyono melalui bukunya Ka’bah Universal Time: Reinventing The
Missing Islamic Time System (Waktu Universal Ka’bah: Penemuan-Ulang Sistem
Tata Waktu Islam yang Hilang) terbitan Pilar Press (2002).
Sayangnya, kehadiran jam Hijriah ini tidak diinsafi oleh pembuat jam raksasa
berdiameter 40 meter (tujuh kali lebih besar dibanding Big Ben di Inggris)
yang diletakkan pada ketinggian 600 meter di Abraj al-Bait Tower, yang salah
satunya disebut Burj Sa’ah Makkah Palace (Menara Jam Mekah) di Mekah yang
diresmikan pemerintah Arab Saudi pada 1 Ramadan 1431 H (11 Agustus 2010 M).
Pasalnya, karena menara yang dirancang oleh para arsitek dari Dar Al-Handasah
Architecs dan dibangun oleh Saudi Bin Laden Group dengan dana 3 miliar dolar itu
masih menggunakan jam konvensional. Posisi angka jarum jamnya masih berputar
dari kiri ke kanan, padahal yang tepat dari kanan ke kiri yang merupakan
gerak sunatullah. Angka 12-nya masih berada di atas, padahal idealnya berada
di bawah, dan mestinya bertukar posisi dengan angka 6 karena “awal hariâ€
terjadi pada pukul 06.00 di titik terbenam matahari di awal malam, bukan
pukul 00.00 (12 malam) di titik nadir matahari di tengah malam. Abraj ini
dihadirkan agar Mekah menjadi acuan waktu dunia. Jika demikian halnya, kenapa
tidak menggunakan jam Hijriah? Padahal, perlu ditandaskan sekali lagi bahwa
jam konvensional sama sekali tidak cocok untuk dipadukan dengan almanak
Islam, jika bukan justru mengecohkan!
Dengan demikian, umat Islam sudah memiliki alat penghitung waktu dan jamnya
sendiri, dan karena itu tak perlu menggunakan jam konvensional (jam masehi),
khususnya dalam pelaksanaan ibadah mahdah (salat, saum, haji, dsb.).
Setidaknya ada tujuh alasan pokok diperlukannya jam Hijriah, yaitu
(1) untuk melengkapi konsepsi penanggalan Islam;
(2) agar kita bisa dan mau menggunakan penanggalan Islam dalam kehidupan
sehari-hari;
(3) untuk membuat jadwal salat;
(4) agar kita bias membuat penanggalan internasional;
(5) agar kita bisa menjalani ibadah saum Ramadan dan Idulfitri pada
hari yang sama di seluruh dunia,
(6) agar kita lebih bertanggung jawab dalam penggunaan waktu;
(7) agar ruang dan waktu dalam hidup dan kehidupan kita jadi totalitas
islami.
Selanjutnya, dalam merealisasikan jam Hijriah atau jam Islam, kita tidak
perlu menunggu ketetapan formal, meskipun afdalnya tentulah demikian.
Menggunakan jam Islam ini lebih pada keyakinan iman dan kesadaran individu
yang pada gilirannya akan melahirkan kesadaran umat secara luas. Mari
berhijrah dari kalender dan jam Masehi ke almanak dan jam Hijriah. Afalaa
tatafakkarun ya muslimin wa muslimah; apakah kalian tidak berpikir wahai kaum
muslim?
Oleh Iwan Nurdaya Djafar
Penerjemah buku ‘Kabah Pusat Dunia’
(Sumber: Lampung Post, 29 April 2011)
Spoiler untuk tersembunyi:
Bottom of Form