Rukun Khutbah Jumat dalam Madzhab Islam

Khutbah JumatPara ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di dalam kitab Al-Fiqh ‘Alal Madzhabil Arba’ah (Fiqih Menurut Madzhab Empat) I/390-391, karya Abdurrahman al-Jaziri, disebutkan pendapat empat madzhab tentang rukun-rukun khutbah Jumat. Ringkasnya sebagai berikut:

1. Hanafiyyah.

Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu dzikir yang tidak terikat atau bersyarat. Meliputi dzikir yang sedikit ataupun banyak. Sehingga untuk melaksanakan khutbah yang wajib, cukup dengan ucapan hamdalah atau tasbih atau tahlil. Rukun ini untuk khutbah pertama. Adapun pada khutbah kedua, hukumnya sunnah.

2. Syafi’iyyah.

Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki lima rukun:

a. Hamdalah, pada khutbah pertama dan kedua.

b. Shalawat Nabi, pada khutbah pertama dan kedua.

c. Wasiat takwa, pada khutbah pertama dan kedua.

d. Membaca satu ayat al-Quran, pada salah satu khutbah.

e. Mendoakan kebaikan untuk mukminin dan mukminat dalam perkara akhirat pada khutbah kedua.

3. Malikiyyah.

Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu, khutbah harus berisi peringatan atau kabar gembira.

4. Hanabilah.

Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki empat rukun.

a. Hamdalah, pada awal khutbah pertama dan kedua.

b. Shalawat Nabi.

c. Membaca satu ayat al-Quran.

d. Wasiat takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikianlah keterangan yang ada alam kitab al-Fiqh ‘Alal Madzhabil Arba’ah. Akan tetapi, berkaitan dengan madzhab Hanafiffyah dan Malikiyyah ada keterangan lain. Yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad dalam kitab Imamatul Masjid, Fadhluha Wa Atsaruha Fid Dakwah, hal. 82. Beliau berkata, “Adapun (para ulama) Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka tidak menjadikan rukun, rukun untuk khutbah Jum’at. Para ulama Hanafiyyah berkata. ‘Jika (khatib) mencukupkan dengan dzikrullah, (maka) hal itu boleh. Tetapi dzikir ini harus panjang yang dinamakan khutbah.’” (Lihat al-Ikhtiyar, I/83, karya al-Maushuli al-Hanafi).

Adapun para ulama Malikiyyah mengatakan, “Tidaklah khutbah mencukupi, kecuali apa yang dapat disebut dengan nama khutbah.” (Lihat al-Kafi, karya al-Qurthubi, I/251).

Dengan keterangan di atas nampaklah, bahwa madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah dalam hal ini sama.

Kemudian -sebagaimana telah kita ketahui– bahwa sebagian umat Islam di Indonesia ini menyatakan mengikuti madzhab -yaitu kebanyakan mengikuti madzhab Syafi’iyyah. Sehingga mereka berkeyakinan, bahwa membaca shalawat Nabi dalam khutbah Jumat merupakan rukun. Jika ditinggalkan khutbahnya menjadi tidak sah! Namun, benarkah keyakinan demikian?

Meninggalkan Shalawat Nabi dalam Khutbah Jumat

Dalam masalah ini, cukuplah kami nukilkan dari sebagian perkataan ulama yang telah dikenal konsistennya dalam berpegang kepada al-Kitab dan as-Sunnah.

Syaikh al-Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa khutbah (Jumat) yang disyariatkan ialah yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Yaitu berupa menganjuran (kebaikan) kepada manusia dan mengancam mereka (dari keburukan). Sebenarnya inilah yang merupakan ruh khutbah. Atas landasarn inilah khutbah disyariatkan.

Adapun mensyaratkan dengan hamdalah atau shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membaca suatu ayat al-Quran, maka semuanya itu keluar dari tujuan maksimal disayariatkannya khutbah Jumat. Dan kebetulan, yang semisal dengan hal itu terdapat dalam khutbah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah berarti menunjukkan bahwa hal itu merupakan tujuan yang wajib dan syarat yang harus ada. Orang yang insyaf tidak akan ragu, bahwa tujuan maksimal (khutbah Jumat) adalah nasihat, bukan yang dilakukan sebelumnya yang berupa hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab yang terus berlaku, bahwa jika seseorang di antara mereka berkehendak berdiri pada suatu tempat dan mengatakan suatu perkataan, maka dia memulai dengan memuji AllahSubhanahu wa Ta’ala. Dan ber-shalawat kepada Rasul-Nya. Alangkah bagusnya hal ini dan alangkah utamanya! Akan tetapi, hal seperti itu bukanlah tujuan, bahkan tujuannya adalah apa yang ada setelahnya.

Nasihat di dalam khutbah Jumat itulah yang dimaksudkan oleh hadits. Maka, jika seorang khatib telah melakukannya, berarti ia telah melakukan perbuatan yang disyariatkan. Tetapi, jika ia membuka khutbahnya dengan sanjungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dalam nasihatnya ia membawakan ayat-ayat al-Quran yang menyentuh hati, maka hal itu lebih sempurna dan lebih baik.

Adapun membatasi kewajiban apalagi persyaratan (yakni rukun -red.) pada hamdalah dan shalawat, dan menjadikan nasihat (dalam khutbah) termasuk perkara-perkara yang dianjurkan saja, maka ini membalik pembicaraan dan mengeluarkan dari bentuk yang diterima oleh orang-orang yang agung.

Tulisan nemu.

Habib bin Hilal

Habib bin Hilal adalah pengelola dan Editor dari blog ini serta situs Alhabib - Mewarnai dengan Islam.

Tinggalkan Balasan